EthnoCloud Globe From Cultural Roots to Fusion EthnoCloud Listening

“Tidak Hanya Hyena, Bayawak Pun Kami Punya!”

Sep 11, 2015
1587 views
“Tidak Hanya Hyena, Bayawak Pun Kami Punya!”

Bagi band ini, kreatifitas adalah tujuan sekaligus perjalanan, ujungnya entah ada di mana.

Kota Bandung melahirkan sebuah unit pedestrian music dengan komposisi instrumen unik: guitalele dan gitar elektrik memainkan pola kotekan Bali, biola dan bangsingSunda memerankan skala nada gamelan, upright-bass dan cajon memberi nuansa akustik-folk yang kental, sedangkan vokalnya bernuansa musik Indonesia akhir era 90-an. Kombinasi bebunyian itupun mereka namai ‘sounds of Parahyena’. Band akustik ini juga seringkali menyelipkan sesi tatarucingan dan humor jahil di setiap panggungnya. Bahkan tidak jarang sang vokalis tiba-tiba mengajak penonton ‘berdoa’ bersama, untuk kemudian ‘dibohongi’ dengan berkata bahwa minggu depan sang penabuh cajon akan menikah. Cucuran canda tawa pun seakan menjadi ciri khas area panggung Parahyena.

Siapakah Parahyena? Line-up mereka berisi Sendy Novian (main vocal, guitalele), Radi Tajul Arifin (lead guitar, backing vocal), Saipul Anwar (upright-bass), Cep Iman (violin), Fajar Aditya (cajon), dan Fariz Alwan (bangsing). Mereka semua berasal dari kampus Institut Seni Budaya Indonesia (ISBI) Bandung. Berdiri sejak 11 Juli 2014 silam, Parahyena mengantongi sebuah petuah berbunyi “seni berpetualang, berpetualang seni” – meminjam jargon milik UKM pecinta alam Arga Wilis, yang menjadi basecamp mereka. “Yang bisa naik gunung belum tentu bisa naik panggung, yang bisa naik panggung belum tentu bisa naik gunung. Beruntungnya, Parahyena sudah bisa menunaikan keduanya,” canda Sendy memulai celoteh sore itu.

Karya dari beberapa band seperti AulagaFolk dan The Cake adalah inspirasi musik mereka, di samping minat terhadap karya musisi/band Indonesia seperti Sweaty Family, Netral, Bing Slamet, R. Azmi, Gamelan, dan Mr. Sonjaya. Sejak setahun berdiri, sudah ada 2 single yang Parahyenabagi kepada kita semua, "Penari" dan "Ayakan", yang tersedia di situs www.parahyena.jimdo.com. Dan masih ada 11 lagu baru yang sudah mereka siapkan untuk full-album perdana untuk rilis akhir 2015.

Dahulu band ini sempat bernama Cucu And The Tangkal Nangka, sebelum akhirnya nama Parahyena dipilih karena dianggap cocok mewakili warna-warni selera musik masing-masing personilnya. Filosofi nama ini diadopsi dari karakter hewan hyena yangpunya kebiasaan memakan bangkai bekas santapan sekelompok singa di sebuah savannah. Kemauan untuk memberdayakan hal-hal yang dianggap sudah ‘basi’ inilah, yang menjadi salah satu kekuatan Parahyena untuk terus hidup.

“Dalam musik dan kesenian, ada sisi-sisi yang menurut trend modern sudah basi, namun bagi Parahyena hal-hal itu justru menjadi aset tersendiri untuk inspirasi berkarya,” beber gitaris Radi Tajul seraya bercerita tentang lagu ‘Ayakan’. Lirik pada single kedua ini berisi sisindiran dan paparikan, sebuah seni sastra Sunda, yang berkolaborasi dengan Dimas Wijaksana, vokalis band Mr. Sonjaya.

Single pertama mereka, “Penari”, bercerita tentang daya tarik visual seniman tari yang menyuguhkan alunan gerak, kerlingan mata, dan lentik jemari. Pada lagu lain Parahyena, pattern musik tradisi sengaja mereka transpose sedemikian rupa ke dalam pola instrumen modern. “Sehingga bagi Parahyena, keberadaan seni musik tradisi justru menambah fleksibilitas naskah musikalitas kami, walau musik Parahyena tidak pure berwarna tradisional,” Radi menambahkan.

Bagi Fajar Aditya, mengadopsi unsur musik tradisi ke dalam konsep modern sama sekali tidak mengurangi kenyamanan dari bermusik itu sendiri. “Rasa nyaman dalam bermain musik tidak akan berbeda karena musik yang dimainkan itu modern atau tradisi. Justru nilai plusnya adalah adanya rasa bangga. Untuk saya pribadi, musik Parahyena tidak hanya untuk dimainkan dan dinikmati, tapi menjadi sarana menambah pengetahuan baru,” ujar alumnus Jurusan Film & Televisi satu ini.

Uniknya, Parahyena membuktikan bahwa terlibatnya unsur musik tradisi, tidak lantas membuat musik terdengar ribet, dan tetap jadi komposisi lagu sederhana. “Bagi banyak kalangan, konsep kolaborasi musik etnik dan modern biasanya harus dilakoni lewat big-band. Maka, kami mencoba dengan format band yang skalanya lebih sederhana. Dan ternyata sejauh ini kami bisa. Karena yang terpenting adalah menjaga konsep harmonisasi lagu, agar musiknya tidak terdengar ‘reunceum atau ‘giung’,” ujar Sendy perihal tantangan inovatif yang Parahyena tengah hadapi.

Sambil menyelesaikan proses garapan album perdana, Parahyena juga sedang menjalankan sebuah program unik, yaitu "Tur Pedesaan" di Kecamatan Rancakendal, Rancaekek, Kabupaten Bandung. Rencananya akan dilaksanakan pada 25 Agustus hingga September 2015. “Kami punya impian besar untuk mampu tur provinsi atau bahkan tur nasional. Sebelum ke arah sana, alangkah baiknya kami mencoba dulu dari hal kecil yang sederhana seperti ini. Karena kami juga bertujuan memperkenalkan musik Parahyena ke lingkup masyarakat pedalaman yang masih perlu banyak edukasi,” beber Radi.

Sendy juga menambahkan bahwa Parahyena punya plan untuk "Canteen to Canteen Tour" di kampus-kampus se-Kota Bandung. “Konsepnya adalah latihan ngampar yang dikemas ala pengamen pedestrian. Sepertinya hal ini masih sangat jarang ada di Bandung,” tutur vokalis kribo satu ini.

Kreatifitas, produktifitas, dan eksistensi yang diiringi kesederhanaan juga sikap humble, menyebabkan pendengar Parahyena merasa punya kedekatan tersendiri. Di usia 1 tahun, Parahyena sudah punya fans-club bernama Parahyedirin. Didirkan oleh anak-anak jurusan film, untuk merespon dan memberitakan aktivitas Parahyena via media sosial. Walaupun masih berjumlahnya puluhan orang, excitement Parahyedirin ternyata sukses ‘membelah diri’ dengan melahirkan kubu fans club kedua, yakni Parabayawak: sebuah band parodi yang manggung membawakan lagu-lagu Parahyena. Para personil Parabayawak sengaja berdandan dan beraksi meniru personil asli Parahyena.

Sesi akhir wawancara berisi sebuah pertanyaan penutup: di hari tua nanti, nama Parahyena akan mereka abadikan sebagai nama apa? Fajar pun menjawab akan mengabadikan nama Parahyena sebagai nama 4 buah gang di daerah rumahnya. Sendy ingin mendirikan Rumah Makan Parahyena, sedangkan Radi malah bernazar bahwa suatu saat akan menjadikan Parahyena sebagai brand badan usaha yang bergerak di bidang katering, paket hewan ternak, dan sewa sound-system. “Supaya kalau nanti ada event, mulai dari sound, konsumsi, sampai guest-star, semuanya dari PT. Parahyena”, celetuk Radi sambil diiringi gelak tawa semua personil.

 

Written By : BOBBIE RENDRA